ISU KENAIKAN HARGA ROKOK

Purwokerto– Isu  kenaikan harga rokok hingga Rp50.000 ramai diperbincangkan belakangan ini. Salah satu yang melatarbelakangi isu kenaikan harga rokok tersebut adalah hasil penelitian Prof. Hasbullah Thabrany yang menunjukkan bahwa  72,3% perokok akan berhenti merokok jika harga rokok menjadi Rp 50.000,-.pada studi Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Hasil penelitiannya juga menyatakan bahwa Rp 50.000 adalah harga tertinggi yang sanggup dibeli perokok di Indonesia. Peneliti merekomendasikan untuk menaikkan harga rokok agar mencegah generasi muda Indonesia merokok. Dengan bantuan aktivis sosial media, isu tersebut menjadi viral di dunia maya dan meningkat tarafnya menjadi wacana nasional.

Rokok yang merupakan hasil olahan tembakau ini menjadi salah satu penyumbang cukai paling besar di Indonesia. Pemerintah juga menerapkan adanya pajak sin tax dimana hal itu merupakan pengenaan pajak konsumsi oleh pemerintah terhadap barang-barang tertentu dengan tujuan untuk mengurangi konsumsi terhadap barang tersebut karena pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Contohnya adalah minuman keras dan rokok. Dana cukai rokok dari pajak tersebut dialokasikan untuk jaminan kesehatan nasional (JKN) dan menanggulangi orang-orang yang sakit karena rokok, akan tetapi kenyataannya di Indonesia  tidak hanya untuk kesehatan saja tapi juga untuk dana pembangunan. Dilihat dari sudut pandang kesehatan bahwa perilaku merokok adalah faktor risiko dari berbagai penyakit. Konsumsi rokok juga menimbulkan berbagai masalah yang kompleks, diantaranya adalah kerugian ekonomi akibat rokok, hilangnya produktivitas karena sakit, disabilitas, kematian, serta biaya berobat untuk berbagai penyakit terkait rokok.

Pemerintah sampai sekarang belum memiliki kebijakan terkait  menaikkan harga rokok sebesar itu. Yang ada hanyalah wacana untuk menaikkan harga cukai rokok yang berimbas pada kenaikan harga rokok juga. Namun, kenaikannya tidak akan sebesar wacana di atas, karena pemerintah pun terbentur aturan undang-undang  No. 39/2007 tentang perubahan atas UU No. 11/1995 tentang Cukai. yang membatasi kenaikan cukai rokok maksimal 275% dari harga produksi pabrik dan 57% dari harga eceran. Berikut isi pasal 5 ayat 1 UU No. 39/2007 tentang perubahan atas UU No. 11/1995 tentang Cukai yang menyebutkan besaran tarif cukai.

(1). Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi:

  1. untuk yang dibuat di Indonesia:
  2. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
  3. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
  4. untuk yang diimpor:
  5. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau
  6. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

Berdasarkan pasal di atas, kenaikan harga rokok menjadi Rp50.000 memang tidak sesuai dengan skema tersebut. Saat ini, harga eceran rokok paling tinggi adalah senilai Rp17.000/bungkus. Dengan demikian, seandainya harga dasar rokok setinggi-tingginya mencapai Rp17.000, maka tarif cukai senilai Rp9.690. Jika dijumlah, maka harga tertingginya hanya Rp26.690 per bungkus.

Ada beberapa dampak baik positif maupun negatif yang akan terjadi apabila harga rokok di Indonesia dinaikkan, diantaranya adalah:

  1. dampak positif :
  2. apabila harga rokok dinaikkan masyarakat menegah ke bawah otomatis tidak dapat menjangkau untuk membeli rokok sehingga hal tersebut akan menurunkan jumlah perokok aktif terutama di usia muda.
  3. pemerintah mendapatkan pemasukan dari kenaikan harga cukai tembakau yang dapat dialokasikan untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
  4. dengan berkurangnya jumlah perokok aktif otomatis akan berkurang juga pencemaran lingkungan akibat asap rokok.
  5. dampak negatif :
  6. apabila harga rokok dinaikkan otomatis permintaan rokok akan menurun sehingga jumlah produksi juga akan menurun yang berakibat pada pengangguran pegawai pabrik rokok karena PHK.
  7. Untuk beberapa orang yang sudah mempunyai kebiasaan merokok, menghentikan itu tidaklah mudah. Apalagi rokok mengandung zat adiktif yang membuat konsumennya kecanduan. Antara kecanduan dan wacana harga rokok ini ada dua kemungkinan. Pertama, masyarakat menengah kebawah serta remaja yang notabenenya tidak mempunyai uang terlalu banyak, pasti akan tetap berusaha mengkonsumsi rokok. Apapun dan bagaimana pun caranya akan mereka lakukan. Dengan prinsip tersebut, kemungkinan kriminalitas pun akan meningkat. Kedua tingkat konsumsi rokok yang masih tinggi, akan membuka jalan atas beredarnya rokok ilegal. Buruknya, cukai rokok ilegal tidak akan masuk ke pendapatan negara.

Atas dasar kajian di atas maka seharusnya pemerintah :

  1. perlu mengakaji lebih dalam terkait dengan isu kenaikan harga rokok tersebut karena hal ini berkaitan dengan beberapa kepentingan tidak hanya dari kesehatan, ekonomi maupun budaya saja, setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seharusnya sudah melalui tahap kajian yang mendalam agar tidak adanya pihak yang mesti dirugikan.
  2. pemerintah perlu menindaklanjuti hasil penelitian dari Prof. Hasbullah Thabrany terkait dengan keefektifan menaikkan harga rokok untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia.
  3. pemerintah perlu membuat regulasi yang adil agar kebijakan yang diambil nantinya tidak hanya menguntungkan salah satu pihak saja.

Oleh karena itu permasalahan rokok bukan masalah sederhana karena banyak faktor yang berkaitan serta kepentingan-kepentingan beberapa pihak mulai dari petani, industri sampai dengan kesehatan dan ekonomi. Kepentingan petani, kepentingan industri, kepentingan kesehatan, kepentingan buruh, kepentingan perekonomian negara dan masih banyak kepentingan lain lagi yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menaikkan harga rokok. Namun tak dapat dipungkiri juga bahwa pada akhirnya, disadari atau tidak, hal ihwal merokok di Indonesia bukan melulu mengenai perkara kesehatan dan ekonomi semata, ada dimensi budaya yang berperan sama pentingnya (Divisi Keilmuan HIMA KBMKM).